“Tinggalkan takbir disudut ruang sunyi ibadahmu saja, jika di luar kau menjualnya dengan murahnya untuk menyakiti sesama.”
Kalimat tersebut dikutip dari salah satu buku karya Kalis Mardiasih yang berjudul Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar.
Rupanya pernyataan di atas sangat cocok dengan realita yang terjadi pada zaman sekarang. Sebagian dari masyarakat Muslimah sedang dilema antara memilih kerudung cap onta dan hijab syar’i. Ya, manusia sering kali menampakkan wajahnya yang paradoksal seperti seseorang yang gencar memekikkan teriakan takbir atas kezaliman penguasa. Di kesempatan yang sama orang itu malah merusak fasilitas negara. Pada akhirnya kalimat Allahu Akbar memiliki kekaburan makna dengan kata hancurkan!
Kalimat mari berhijrah atau kembali ke sunah yang digembar-gemborkan oleh para pejuang hijrah juga mengalami hal yang serupa. Sering kali kalimat tersebut ujung-ujungnya adalah untuk memasarkan produk syar’i atau tuntutan untuk membuat sistem negara khalifah.
Pada zaman yang serba unik ini, tidak sedikit orang yang tiba-tiba saja menjadi pejalan hijrah dadakan (tidak digoreng, tapi masih anget dan dijual lima ratusan). Meskipun kabar ini seharusnya menggembirakan, namun tak semua realitanya berkata demikian. Bukan maksud hati memojokkan pejuang hijrah yang lagi menggebu-gebu semangat dakwahnya, namun ada beberapa hal yang menggelikan dari para pejuang hijrah yang justru perilakunya seperti itu justru terlihat seperti hijrah noob (hijrah yang ikut-ikutan).
Mengetahui keberagaman seseorang menurut mereka adalah sama mudahnya mencari tahu sedang apa Gohan sekarang. Tak perlu berpikir panjang. Keimanan seseorang kata mereka berbanding lurus dengan panjang jenggot dan jilbab yang dikenakan. Tak ayal karena saking mudahnya mengetahui keberagaman seseorang.
Sering kalI tuduhan tak islami, tak mengikuti sunah nabi, dangkal agama, dan lain sebagainya dilontarkan kepada orang yang jenggotnya tak sepanjang milik kambing ketawa atau orang yang tak berjilbab panjang.
Sebaliknya, kepada orang lain yang berjidat hitam mereka menunduk dengan takdim seraya memuji dengan antusias. Menurut mereka keberagamaan seorang muslim yang kafah itu diukur dengan seberapa pekat kadar kehitaman jidadnya. Padahal yang dimaksud dengan “Min Atsaris Sujud” dalam Qur’an adalah kesadaran hati akan begitu lemahnya dan hinanya manusia di hadapan Tuhan-Nya.
Kepala, tempat akal melahirkan pemikiran, saat bersujud harus tunduk sejajar dengan tanah tempat berpijaknya kaki manusia. Sehingga tidak ada peluang untuk berlaku sombong, congkak dan lain sebagainya.
Para pejuang hijrah itu terlalu sibuk mengurusi hal-hal yang sebenarnya hanya formal semata, namun kurang memperhatikan sisi substansialnya. Kejadian ini sama lucunya dengan orde baru yang mana di pinggir jalan kota-kota besar, tentara melakukan razia dengan membawa senjata alat cukur untuk menggundul orang-orang yang berambut gondrong.
Mereka yang hijrah itu kekritisannya sudah melewati tapal batas kewajaran biasanya. Sedikit-sedikit minta dalil, mencari landasan qur’an dan hadist. Itu memang bagus andaikan dalam batas kewajaran. Sangatlah lucu jika sebelum makan ayam goreng masih sibuk mengupload status dengan caption “apa ya dalilnya makan ayam goreng? Yang tau komen dong”, sungguh tidaklah wajar.
Kemudian para pejuang hijrah yang mengaku dirinya telah berislam secara Kaffah biasanya sering mengintervensi urusan Tuhan untuk mengidentifikasi ahli neraka.
Hijrah bukan hanya soal penampilan luar saja. Esensi hijrah adalah meninggalkan berbagai larangan agama. Demikian pula dengan hijrah orang yang tidak berarti, yang mengeklaim dirinya sendiri lebih baik dari pada orang lain, menyalahkan bahkan meremehkan orang lain.
Ketika seseorang memutuskan untuk berhijrah maka yang perlu di perhatikan adalah untuk apa kita berhijrah. Hal ini penting karena terkadang ada yang hanya mengikuti trend saja. Sedikit dari mereka yang benar-benar memiliki niat berhijrah. Dan sekali lagi bahwa yang terpenting dari berhijrah adalah tekad meninggalkan kepribadian yang buruk untuk menjadi pribadi yang lebih baik dengan cara yang benar dengan niat yang sungguh-sungguh. Adapun Hadist hijrah yang memberikan pesan penting adalah :
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barang siapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.”. (HR.Bukhari : 52)
Tulisan ini bukan bertujuan untuk nyinyirin para pejuang hijrah yang semangat dalam berdakwah. Hijrah ya hijrah saja, jangan menggelar pengajian hijrah yang ujung-ujungnya nanti menjual olduk hijab apalagi khafilah. Ada juga yang sampai terus terang menghina seorang Kiai atau dzuriyah Kiai di medsos, sungguh tidak beretika. Hal itu hanya akan memancing perseteruan.
Salah memilih pengajian lebih berbahaya dari pada memilih teman. Banyak orang awam yang masih berproses meneguhkan jati diri keislamannya melalui pengajian-pengajian instan. Alih-alih menambah ilmu pengetahuan keislaman, namun malah yang mereka dapat adalah doktrin-doktrin anti Kebinekaan, hal tersebut sangat disayangkan.
Saya pribadi meminta maaf jika ada tulisan yang menyinggung, sekali lagi tulisan saya berempati menyemangati para pejuang hijrah agar berhati-hati dan jangan sampai salah memilih pengajian.