Pernikahan bukan untuk yang setengah hati. Satu dari keresahan yang dimiliki perempuan yang menurut stigma sosial sudah memasuki usia untuk menikah. Ya, perkara menikah semakin kesini menjadi tekanan di kalangan masyarakat. Belum lagi, beberapa akun hijrah di media sosial yang gemar mengkampanyekan ajakan untuk nikah muda yang seakan-akan klimaks dari episode hidup kita dan permasalahan paling pelik dalam hidup adalah mencari pasangan.
Narasi demikian seakan-akan menuntut ilmu mencari bekal sebanyak-banyaknya menjadi tidak penting. Seakan-akan menambah pengalaman hanyalah membuang waktu. Seakan-akan menikah adalah satu-satunya solusi dan harapan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik lagi.
Perempuan yang dianggap sebagai second gender hanya memiliki kontribusi utama dalam urusan anak dan dapur saja. Perempuan yang sekolah terlalu tinggi dan tak kunjung menikah akan di judge sebagai perempuan yang susah jodohnya, perempuan yang liberal, terlalu open minded dan menyalahi fitrahnya. Loh?
Realita ini menempatkan perempuan sebagai korban diskriminasi yang dianggap masih belum mampu untuk berpegang teguh atas prinsip hidup dan penjagaan atas dirinya sendiri. Hal ini akan bermuara tidak diberikan kesempatan kepada si perempuan untuk menetapkan pilihan hidupnya termasuk hal pernikahan yang seolah-olah juga menjadi tanggung jawab publik.
Memang tidak etis membicarakan apa yang harus dilakukan perempuan jika yang menjadi korbannya adalah perempuan itu sendiri. Akan tetapi, mau tidak mau perempuan harus menyadari bahwa dia ini punya tanggung jawab juga untuk menjaga dirinya yakni dengan ilmu, memupuk keberanian untuk berpegang teguh terhadap kebenaran selama memang ia tidak melakukan kesalahan.
Keberanian mengutarakan pendapat bagi perempuan adalah hal yang sangat patut untuk diapresiasi, sebab ia mampu melawan keresahan hatinya dan pandangan orang lain terhadap dirinya. So, diam itu tidak selalu emas ya? perempuan harus mulai berani berpikir kritis bahwa sebetulnya dengan mengaktualisasikan diri ini kebaikannya nanti akan kembali kepada siapa.
Abraham Maslow seorang ahli jiwa dalam bukunya Hierarchy of Needs menyatakan bahwa aktualisasi diri merupakan kebutuhan dan pencapaian tertinggi dari seorang manusia. Perempuan yang dapat mengaktualisasikan dirinya akan menyadari bahwa kemandirian dalam dirinya minimal dapat menjaga dirinya sendiri.
Upaya tersebut mungkin memang tidak langsung memberikan perubahan, akan tetapi dengan tetap menyuarakannya lambat laun akan diikuti suatu pergerakan kemudian terjadilah satu perubahan, pandangan terhadap perempuan sebagai manusia tidak lagi hanya sebagai objek semata.
Perempuan baik ia sebelum menikah ataupun sesudah menikah tetap bisa menikmati kenyamanan hidup yang berjalan signifikan dan normal seperti biasa. Kesiapan yang berasal dari diri sendiri akan menjadikan perempuan mampu menghadapi tantangan biduk rumah tangga dengan lebih tenang dan tidak terlalu reaktif sebab emosinya telah diregulasi dengan baik. Kesiapan inilah yang perlu dan penting untuk dibangun agar pemaknaan tentang pernikahan tidak sempit.
Melembagakan ikatan dalam status pernikahan tidak hanya tentang ikatan dua manusia namun juga tentang janji kepada pemilik semesta yang tervisualisasikan dalam sakinah, mawadah wa rahmah, dengan adanya upaya pernikahan yang diniatkan dengan baik maka cinta itu akan tumbuh.
Hemat penulis, tidak ada cinta yang sungguh-sungguh cinta tanpa ikatan pernikahan sebab cinta adalah komitmen. Cinta adalah menghormati kehormatan satu sama lain. Bentuk penghormatan disini ialah dengan melindungi marwah perempuan dan menjaga martabat laki-laki yakni dengan ikatan yang baik. Karena jika cinta hanya sekadar cinta saja tanpa diregulasi oleh syariat dengan benar maka cinta itu bisa menjadi obsesi, posesif dan hal lainnya yang merugikan individu satu sama lain.
Menilik esensi pernikahan itu sendiri adalah untuk sakinah, mawaddah wa rahmah. Memang betul cinta ini ialah anugerah dari Tuhan, namun ada beberapa hal yang membutuhkan suatu upaya untuk menjaga cinta itu bisa menenangkan satu sama lain. Ada kalanya dalam pernikahan, cinta itu selalu diupayakan dengan mu’asyarah bil ma’ruf sehingga memang kesiapan, kematangan mental, spriritual dan kesungguhan harus dipersiapkan sendiri.
Perempuan jangan getir. Pernikahan bukan hanya rainbow dan butterfly namun juga petir dan badai. Pernikahan hanyalah bagian dari menjalani kehidupan dengan status yang berbeda dan ia bukanlah tujuan dari kehidupan. Mengutip story whatsapp guru saya bahwa lebih baik sendiri daripada mengikat diri dengan orang yang salah. . Jangan sampai perkataan orang lain mendikte hidup kita, apalagi mendikte harga diri kita. Harus berkeyakinan tinggi bahwa kita akan mendapatkan seseorang sesuai dengan frekuensi yang kita radiasikan. Semangat!