Oleh: Frida Pramadipta
(Mahasiswi Fakultas Syariah UIN Maliki Malang)
Dalam dunia perbukuan, penulisan dan pembacaan di Indonesia memang sudah banyak berkembang. Maka, pada era abad ke 21 ini saya perlu berterima kasih kepada ratusan, bahkan ribuan penulis mulai bermunculan sebagai cerminan semangat literasi yang menggelora. Tidak hanya penulis serius tetapi juga penulis santai yang melahirkan buku-buku laris.
Ketika memutuskan untuk menekuni dunia kepenulisan, saya sebisa mungkin tidak menggantungkan pada penerimaan uang baik besar maupun kecil. Karena hal tersebut bisa menciderai kualitas hati yang saya jaga agar tetap baik dari waktu ke waktu. Bagi saya, modal utama dalam menulis bukan komputer canggih dengan pentium lima. Bukan tinta emas dengan bulu angsa. Bukan ketenaran. Bukan pula karena proyek dengan honorarium besar. Tetapi modal sejati dalam menulis adalah hati yang bebas dengan pikiran luas.
Mengutip dari Eka Budianta dalam bukunya Senyum untuk Calon Penulis, “Ada sastrawan pencari nafkah, ada sastrawan penyanjung penguasa, sastrawan iseng, macam-macam. Ada juga… yang disebut sastrawan hati nurani.” Saya sendiri berusaha memilih yang terakhir. Rasanya bebas dan merdeka. Menulis karena memang ingin berkomunikasi dan menghendaki sesuatu perlu untuk diperbaiki. Tentunya sembari tetap menghormati pilihan dari sastrawan lain.
Penulis sejati laksana burung yang indah dan bersuara merdu. Ia tetap berkicau seindah-indahnya, terbang kesana kemari meskipun berada dalam hutan yang sunyi. Ia tidak memerlukan penonton apalagi mencari-cari perhatian. Begitulah, tujuan terakhir dalam berkarya adalah mempersembahkan kemerdekaan, mencapai kebebasan diri dengan bekerja sepenuh hati.
Mengenai hasilnya kita serahkan kepada pembaca. Yang penting, kita telah menjalankan peran dengan sebaik-baiknya. Dunia tentang menulis nyaris tidak terbatas. Tulisan dapat menjangkau berbagai macam isu, latar belakang, kisah cinta, politik, pendidikan, keadaan alam, dan agama pembacanya. Akhirnya, dengan menulis kita dapat melihat dunia yang lebih luas.
Apakah motivasi menulis dapat menentukan kualitas dari karyanya? Bisa ya, bisa tidak. Karya yang ditulis untuk memenuhi proyek tentu jelas memiliki penilaian khusus. Sedangkan karya yang disusun tanpa tekanan, tanpa motivasi komersial akan menghasilkan kualitas yang berbeda. Sederhananya, motivasi ini menjadi penting dalam menyelesaikan pekerjaan.
Menulis dipercaya dapat mengaktualisasikan diri, untuk membebaskan jiwa dan raga. Jadi, menulis untuk merdeka. Ada kalanya kita memang tidak tahu mengapa kita menulis. Namun apapun motifnya, yang terpenting adalah produknya, daya jangkaunya, dan kepedulian yang mendalam. Lagi pula meskipun tulisan dibuat iseng, kalau “hasilnya luar biasa” mau apa? Sedangkan yang dibuat dengan keseriusan kalau hasilnya jelek, ya jelek saja.
Sebagai contoh, berjuta orang menulis skripsi sarjana pada setiap tahunnya. Berarti berjuta karya telag dihasilkan. Tetapi, mengapa sangat jarang hasilnya yang benar-benar bagus. Mengapa? Karena kebanyakan skripsi dikerjakan dengan terpaksa dan penuh tekanan. Dikerjakan dalam tempo sesingkat-singkatnya pula. Maka jadilah karya seperempat hati, atau bahkan tanpa hati. Seperti yang sering kita lihat.
Sehingga niat dalam hati (nawaitu) tetap menjadi penting dalam berkarya. Tidak cukup menulis hanya merangkai 26 huruf dalam abjad. Tetapi juga melibatkan gerak, suara, gelora hati, gelak tawa sampai air mata! Karena setiap penulis memiliki tantangan untuk meningkatkan rasa ingin tahu dan minat baca masyarakat.
Konon, penulis kita sering terjebak pada persoalan lokal, yang dibawa oleh iklim politik dan budayanya. Banyak penulis yang belum dapat mengangkat persoalan dan informasi yang hendak ditawarkan menjadi sumber kekayaan intelektualitas masyarakat. Kita kurang tangkas mau dan sanggup untuk menggali permasalahan lokal yang sebetulnya penting untuk dikaji. Mungkin benar, kita yang katanya bangsa besar memerlukan karya-karya yang besar. Tentunya berasal dari penulis-penulis yang besar.
Sekarang pertanyaan yang muncul adalah, pentingkah kapan kita akan menulis? Letak persoalannya adalah “penulis tua” dan “penulis muda”. Kalau kita tidak menganggap penting kapan akan menulis, tentu pertanyaan ini tidak akan muncul. Emha Ainun Najib, Kartini, Chairil dan Mohammad Hatta menulis karya-karya mereka dalam umur 20-an. Kita bisa mulai menulis setelah pensiun, tetapi bukan berarti langsung menjadi penulis senior. Jadi, tua atau muda tidak relevan. Modal utama adalah jiwa merdeka, bukan pada besarnya angka usia. Menulis berarti memberikan yang terbaik dari pengetahuan kita, pengalaman hidup kita dan harapan kita. Diibaratkan sebagai perwakilan dari hati kita untuk mengetuk hati pembaca.
Selamat menulis. Selamat mengamati. Selamat merenungi. Jangan biarkan persoalan dan gagasan yang sedang dipikirkan hanya mengambang. Jangan sampai!
Tentang Penulis
Penulis adalah pelayan kemanusiaan. Ia mempercayai bahwa kata mampu menjelaskan kebenaran. Hanya sekadar menguji kebenaran, bukan memberhalakannya secara tunggal.