Oleh: Frida Pramadipta
(Mahasiswi Fakultas Syariah UIN Maliki Malang)
Aku membuka surat yang terselip dibuku itu dengan jari yang gemetar. Bibirku ikut bergetar mengikuti degup jantung yang semakin tak karuan. Masih tak percaya, kubuka kembali surat terakhir dari Rajendra. Air mata mengepung kedua pelupuk mata. Perlahan kuusap muka dengan kedua belah tangan, seperti selesai berdoa. Sesuai dengan salah satu penutup dalam forum diskusinya, “Membaca dan menulis adalah bentuk-bentuk doa bagiku.”
Suasana yang hening itu hanya ditembus oleh suara tangisku yang pecah membaca ceritanya. Sebuah cerita relijius yang memikat. Tentang seorang laki-laki yang tiba-tiba saja merasa sendirian. Seumur hidupnya ia tersiksa menjadi Rajendra yang dielu-elukan para pengagumnya. Ia terpaksa memakai baju dengan warna yang tidak disukainya. Ku mohon hentikan. Jangan mengganggunya lagi!
***
“Zyana?” ia mengulang namaku. “Itu artinya berkat dari surga. Wanita salehah, berkat dari surga.”sambungnya, dan ia membungkuk dengan senyum yang simpatik. Sama simpatiknya ketika ia beretorika.
“Kesalehan tidak identik dengan kebenaran,”jawabku membantah, “Aku mengutamakan kejujuran. Karena kejujuran akan melahirkan kebenaran sikap. Tentu saja apa yang kuanggap benar bisa menjadi hal yang tidak terlalu ‘nyaman’bagimu.”
“Kalau kebenaran masih kau anggap relatif, maka dunia akan jadi anarkis. Tapi, yasudah, toh aku menghargai sikapmu,”wajahnya tiba-tiba menjadi mendung. “Tidak banyak penulis muda yang bisa bersatu dengan apa yang disampaikannya.”
Aku terdiam karena tidak memahami kalimat terakhirnya yang begitu buram. Wajahnya pun berubah menjadi wajah lain yang belum pernah kulihat di muka umum. Ia tak terlihat kukuh. Bahkan tergambar keraguan pada dirinya.
“Apa yang ingin kau sampaikan?”
Rajendra tersenyum. Kegetiran tersirat di kedua belah matanya. “Zyana, setiap kali aku tampil di muka umum, aku harus mengenakan pakaian putih. Mereka menginginkan aku bewarna putih. Seputih tulisanku. Mereka menolak keras di antara warna putih terdapat noda yang kotor. Mereka.. tidak ingin melihatku sebagai manusia biasa.
***
“Liberal atau radikal, moderat atau konservatif semua adalah masalah sudut pandang saja. Aku sendiri muslim yang setel kendo. Aku memandang sekitar dengan damai. Tidak ada masalah apa-apa. Bagi yang melihat sekitar adalah ancaman untuk agama, barangkali karena lahir dari lingkungan yang seperti itu. Sedari kecil sudah terkungkung pada ketakutan dan selalu bersitegang dengan perbedaan. Sebab untuk pilihan ideologis seorang dalam memilih apa yang dianggapnya benar, bukan sekadar dari banyaknya bacaan. Tetapi juga dipengaruhi latar belakang kehidupan dalam membentuk cara pandangnya. Ah, berharap pada seorang untuk merubah paradigma berpikirnya hanyalah upaya utopis…”
Aku berhenti, berpura-pura membutuhkan oksigen untuk mengisi rongga hidungku. Namun sesungguhnya aku menanti reaksi dari Rajendra. Ia masih memandangku dengan lekat. Tapi karena aku tak kunjung melanjutkan pendapatku, Rajendra bersuara juga, “Lalu?”
“Lalu.. entah kuserahkan semua kepadamu. Aku tidak pernah memaksa kehendakku kepada siapapun. Tidak sepertimu di forum-forum itu.”
“Hei!” Rajendra terlihat risih.
“Lo, kenapa?”
“Keterlaluan,” Rajendra mengendus dengan wajah beringas, memalingkan wajah kemudian membelakangiku.
“Lo?”
“Aku cemburu. Kau begitu tuntas. Sangat jujur. Aku ingin bebas sepertimu!” Rajendra tampak terluka mendengar pendapatku.
“Begini, pandanganku terhadap apapun dan kepada siapapun memang selalu jujur. Aku tidak mau berpura-pura meyakini hal yang sama sekali tidak aku pahami seperti apa yang engkau sebut membangun optimisme…”
“Menurutku, penulis wajib menjadi inspirasi bagi pembacanya. Mendorong mereka untuk berbuat kebajikan. Mendorong mereka untuk menemukan kesalehan dalam diri mereka,” Katanya seperti guru agama sekolah dasar.
“Apakah memberi hidayah itu kuasamu? aku tidak ingin mengorbankan perasaanku; juga kemerdekaanku!” Ujarku berusaha tidak mengejek Rajendra.
Rajendra berbalik menghadapku. Ia diam tergugu. Hanya ada letupan-letupan api dalam matanya. Tiba-tiba saja aku ingin memeluknya. Betapa aku sangat mengasihinya. Kali ini, aku melihat Rajendra utuh sebagai manusia biasa; meski ia sama sekali tidak pernah mengakui untuk sepakat denganku. Dengan pandanganku.
***
Malam datang dengan cara yang sama sekali tak ksatria. Malam pekat hampir saja menipuku jika tak kulihat cahaya di ujung jalan. Titik cahaya itu ternyata lampu yang menerangi warung gedek yang sarat dengan gelak tawa perempuan.
Kulihat beberapa pasang manusia bercengkerama yang seperti telah memutuskan memasuki wilayah yang lebih pribadi. Sesosok lelaki berdada bidang yang kukenal, kini ia berbalut kemeja hitam, berdiri dibawah bayangannya sendiri. Tangan kanannya memegang sebuah buku tebal dan tangan kirinya melingkar di bahu seorang perempuan berparas cantik.
“Eh,” ia menoleh dan wajahnya mendadak berubah menjadi pucat mengetahui aku berdiri di hadapannya, “Kau!”
Aku senyum-senyum.
“Kenapa.. bisa sampai disini?”
“Aku hanya mencari angin segar. Mungkin juga menanti seseorang untuk membimbingku masuk dalam forumnya..” Aku menjawab seenaknya.
Wajahnya yang tadi putih bak porselen kini mulai dialiri darah lagi setelah mendengar gurauanku, “Kalau begitu engkau telah bertemu dengan orang yang tepat. Mari, bergabung bersama kami. Aku akan membimbingmu.”
“Oh..Oho..Tidak, tidak. Sampai akhir zaman pun aku tidak tertarik bergabung denganmu.”
“Ayolah, kumohon. Kita akan menjadi dua orang hebat jika bisa bersama-sama. Bersanding denganku.” Wajahnya bersungguh-sungguh.
Sementara perempuan yang duduk manis disamping Rajendra malam itu, yang wajahnya penuh dengan riasan warna-warni mulai cemberut. Aku mencoba mempersingkat percakapan karena tidak ingin mengganggu keasyikan mereka berdua.
“Begini, sungguhpun engkau tertarik kepadaku dan aku menyukaimu. Rasanya hubungan kita tidak akan bertahan dengan baik. Kau sangat mirip dengan tokoh Mc Kenna yang terobsesi menjadikan dirinya Paus dengan cara menjembatani agama dan ilmu pengetahuan. Tokoh yang tidak ingin memperlihatkan keburukan dalam dirinya. Kau membuat garis yang terlalu konkret antara malaikat dan setan dalam dirimu. Semua kau lakukan demi penghormatanmu. Maka tuhanmu sebenarnya adalah masyarakat.”
“Kalau saja…” Aku masih melanjutkan.
“Kalau saja apa?”
“Kalau saja kau berani berpakaian hitam seperti ini di hadapan siapapun. Kalau saja kau bisa sejujur ini seperti dalam forum-forum itu. Kalau saja kau bisa tampil dengan pakaian hitam dan putih sekaligus. Aku lebih suka menerimamu seutuhnya. Sayang sekali kau menolak tampil seadanya. ”
Rajendra terdiam mendengar uraianku. “Zyana,” Perempuan cantik disebelahnya menarik lengan Rajendra namun ditampik olehnya.
“Aku tak ingin melihatmu.” Rajendra menunduk. Di bawah temaram sinar lampu kuning kulihat air matanya yang mengambang. Sementara keriuhan di warung gedek pelosok desa berubah menjadi suasana mencekam.
“Baiklah, kau membenciku.”
“Tidak!” ia mencengkeram bahuku tiba-tiba. “Aku suka. Terlalu suka padamu. Tapi kau selalu menelanjangiku di saat-saat yang paling tepat.”
Menghela napas mencoba meredam diri, “Aku pengecut. Tanpa kusadari, aku telah terbentuk, oleh golonganku. untuk berpikiran, menulis dan berbicara seperti apa yang mereka inginkan. Mereka telah begitu berkuasa untuk memerintahkanku mengenakan pakaian putih tanpa boleh menambahkan benang hitam. Tanpa boleh ada noda. Aku tidak sedang menyalahkan mereka. Karena dengan penuh kesadaran kupilih jalan ini sejak awal.”
Aku mengangguk. Mencoba memahami pilihan Rajendra. Putih pada siang hari dan hitam pada malam hari. Tapi Rajendra paham, ketika aku tidak bernafsu membantah argumennya, aku telah menyerah. Tak ingin melanjutkan diskusi. Dia tahu, rasa hormatku padanya semakin jatuh.
***
Rangkaian semut merah muncul dari gundukan tanah yang menyimpan jasad Rajendra. Apakah mereka telah menggerogoti dagingnya? Tubuhku merinding. Aku sudah tidak peduli bahwa ia dianggap berdosa telah mengakhiri nyawanya sendiri. Misinya memang belum selesai, tetapi ia telah mati sejak lama.
Ia meninggalkan sebuah buku tebal kepada perempuan yang kujumpai malam itu. Sebagai pesan terakhir katanya. Terselip sebuah kertas yang basah oleh air mata penyesalan yang tak habis-habisnya karena kau merasa berdosa menghianati dirinya. Hanya ada satu kalimat yang sampai kini ia harus menanggung cercaan dari golonganmu, “Lepaskan aku dari neraka ini.”
Tentang Penulis
Penulis adalah pelayan kemanusiaan. Ia mempercayai bahwa kata mampu menjelaskan kebenaran. Hanya sekadar menguji kebenaran, bukan memberhalakannya secara tunggal.