Cerpen  

Pemuda yang Berselimut Luka

Penulis : Abidah Daniyah

Jika boleh, aku ingin menjadi rintik hujan karena ia tetap tegar meski berkali-kali jatuh sempoyongan.

Jika boleh, aku ingin memutar waktu karena kita yang dulu selalu bertengkar, namun tak pernah lupa menebar kata rindu.

Jika boleh, aku ingin meratap pada semesta karena aku ditertawakan atas harap yang kini tersisa semu, namun betapapun menyakitkannya luka, jalan ini akan tetap ku jejaki sebagaimana manusia yang tahu diri.


Semburat perpaduan cahaya sore berkombinasi dengan sangat sempurna. Semua terlihat kecil sekali. Sekumpulan awan berbaris rapi berarak-arak melewati langit yang sedari tadi kupandangi. Tanpa riuh jeritan kendaraan yang melaju. Tanpa kebulan asap yang menyesakkan dada. Ah indah sekali bukan?

Sayangnya aku masih saja bersedih atas kebodohan yang sengaja aku rangkai sendiri.

“Bukankah adalah hal bodoh ketika kita mencintai seseorang melebihi kecintaan pada diri sendiri?” Batinku berkata.

“Bagaimana mungkin kau sebegitu mencintainya, hah ?” pertanyaan di otak semakin melayang.”

“Hey, ayolah sergahku.” Kan sudah pernah kubilang itu adalah kebodohan yang aku rangkai dengan sengaja.” Aku dengan spontan menjawab.

“Hah!? siapa yang bertanya padaku?” Batinku bertanya, ” Bagaimana mungkin dia dapat membaca pembicaraan batinku?”

Sambil lalu berjalan mendekat, seorang kakek tua dengan janggut tampak putih berhias senyuman yang menghiasi bibirnya berkata, “Hey nak! Tidak perlu memikirkan mengapa aku dapat membaca suara risau batin milikmu,” Tenangnya, “Senyumlah dulu, wajahmu kusut sekali. Apa jangan – jangan kau lupa cara tersenyum dengan benar?”

Aku hanya diam sambil menunduk.

“Aih kau ini ! seperti menyedihkan sekali alur cerita milikmu nak?” Kakek tua berkata sambil duduk di sebelahku. Tangannya menepuk pundakku dengan pelan dan anehnya tepukkan itu menghangatkan sekali, membuat kekacauan yang berkicau dalam pikiranku sejenak mereda.

Baca Juga:  Untuk Bapak

“Nak tak perlu terus-terusan seperti ini. Bukankah jalan cerita hidupmu masih harus terus kau selesaikan? Kau patah hati bukan? Ah aku paham sekali perihal ini.

“Sepertinya, kaku sangat mencintainya? Meski aku tak tahu dia siapa tapi kau harus tahu nak ! Tepat di saat kau begitu mencintainya, tanpa disadari kau telah merakit bom yang dapat meledak kapan saja dan membuatmu terpelanting dalam sekali dan sepertinya saat ini letupannya merenggut semangat hidupmu?” kakek tua itu berkekeh.

“Kutebak saja, bukankah tanpa kau sadari bahwa engkau telah melupakan Tuhanmu saat kau bersamanya? Bukankah kau telah melupa untuk bersyukur akan hadir-Nya padamu? Kau melupakan Tuhanmu anak muda, kau melupakan-Nya.”

Setelah kupikir-pikir, semua yang dikatakan kakek itu benar, aku telah melupakan-Nya dalam urusanku ini, ah bodohnya aku! Air mataku seketika berbaris tumpah.

“Tak usah menangis, ini adalah pelajaran, pelajaran berharga bahwa yang sepenuhnya layak kau cintai adalah Tuhanmu. Dan perlu kau ingat satu hal, dalam perjalanan hidup akan ada yang hilang lalu tergantikan, akan ada yang jauh lalu mendekat. Begitu sebaliknya dan semua itu telah ditentukan oleh Allah, kita hanya bisa menjalani dengan penuh rasa sabar dan syukur betapa pun menyebalkannya perjalanan yang telah Allah ciptakan, kau harus selalu ingat itu nak.” Tangan kakek itu sekali lagi menepuk bahuku dengan pelan. Tanpa aku sadari kakek itu telah menghilang ke mana.

Aku tiba-tiba tersadar, pandanganku langsung mencari ke arah mana kakek itu berjalan. Mengapa cepat sekali ia menghilang ? Tidak mungkin jika ia berlari, sementara jalan saja ia dibantu dengan tongkat yang menemaninya tadi, belum lagi tempat ini curam sekali, sedikit saja salah mengambil langkah, kakek itu akan berguling – guling tertampar batu – batu lancip, apa jangan – jangan kakek itu malaikat ?

Baca Juga:  Laki-Laki yang Merdeka

DARR!!!!

Suara keras dari belakang pundakku membuatku terkejut. Tanganku sontak memukul ke arah suara itu.

Ssst!!!! Pukulanku tak mengenainya.

“Heeee… Apa kau mau membunuh temanmu sendiri ?!!!”

“Astaga aku kira siapa kau Ron!!? Siapa suruh membuatku terkejut.” Ucapku.

“Hey kau ini, masih saja kusut, Mar Ammar. Lihatlah mereka! Farhan, Bilal, Jamal, Farel, Arzakah. Kebahagiaan mereka terlihat jelas bukan?! Kau bukan Ammar yang aku kenal, Ammar yang semangat, Ammar yang lucu, Ammar yang ceria.” Kepalan tangannya meninju bahuku.

“Jangan jadikan wanita itu sebagai batu yang menjegalmu, batu yang mematahkan semangatmu, akan ada hal yang menarik yang telah disiapkan Allah setelah ini. Percayalah semangat Mar!! Ayo menyusul anak-anak.” Tangannya menarikku dari sepi yang saat ini menjadi tempat favorit pelarianku.

Entah siapa kakek tua tadi, yang jelas semua yang ia katakan benar, aku terlalu sibuk membuat dia tertawa sampai aku melupakan segalanya. Aku terlalu sibuk memikirkannya sampai – sampai perihal diriku sendiri terabaikan. Bodoh sekali aku!!!.

Telah tiba saat-saat yang kami tunggu. Matahari sore memamerkan keelokannya, menghasilkan warna mengagungkan pada kanvas semesta. Warna-warna itu berpadu menyejukkan hati bagi siapa saja yang melihatnya. Dan kami semua terdiam, suasana seketika hening. Kami menikmati pertunjukan yang super spektakuler!.

Terima kasih Ya Allah atas semua nikmat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *