Saatnya Muslimah Mengingatkan, No Lowly Work!

Oleh: Sinta Dewiswara

Saatnya Muslimah  mengingatkan, no lowly work !

Muslimah tidak wajib mencari nafkah untuk diri dan keluarganya, namun bila ada suatu yang perlu sehingga bekerja dapat menjaga martabatnya dan mengantarkan kepada kebaikan yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya. Tetapi masih adakah orang yang mengklasifikasikan pekerjaan berat yang mengenakan tenaga yang besar, seperti menjadi asisten rumah tangga, cleaning servis,  dll sebagai pekerjaan rendahan.

Sedangkan pekerjaan yang nampak lebih keren mengenakan laptop dan berpakaian jas sebagai pekerjaan mulia? Agama Islam disini meletakkan status kemuliaan dan kehinaan sebuah pekerjaan ada pada niat seseorang serta cara-caranya bekerja. Laptop dan pakaian jas bisa saja menjadi sumber kehinaannya seseorang bahkan menjebloskannya ke dalam neraka, sementara tangan yang menjadi kasar dan kapalan karena membersihkan kotoran  ketika dilakukan karena Allah justru karena pekerjaan itulah yang memberikan ganjaran yang besar dan dapat mengantarkan dia menjadi calon ahli surga.

Dalam Islam, konsep bekerja jauh lebih luas dan memiliki ciri serta tujuan. Adapun Etos dan prinsip bekerja sudah  diatur dalam Alquran yang disebutkan kata ‘amal dan ada istilah konsep yang berdekatan yang juga diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai kerja yakni fi’il. Ayat Alquran tersebut menekankan perlunya manusia bekerja dan berbuat. Islam juga mengajarkan gaya hidup aktif maksudnya orang beriman harus berilmu harus beramal. Bahkan Alquran menganggap menyia-nyiakan waktu untuk suatu pekerjaan yang tidak produktif dan bermanfaat sebagai cermin lemah iman dan bahkan kekafiran. Manusia harus memanfaatkan waktu yang di berikan untuk bekerja dan mencari rezeki yang Allah tetapkan atas dirinya.

Seseorang yang bekerja keras mencari karunia Allah termasuk juga melaksanakan semua cara yang dibenarkan oleh syariat untuk mencari sumber-sumber kehidupannya itu sangat dimuliakan dalam agama Islam. Semua orang yang keadaannya sehat jasmani dan rohani, didorong untuk bekerja demi mencari penghidupan mereka. Keingat banyaknya pengemis-pengemis yang buta dan ada juga yang lumpuh di jalanan kenapa justru dituntut dan dieksploitasi orang-orang bertubuh sehat, kalau memang sehat mestinya itu bekerja dan menafkahi saudaranya yang buta dan lumpuh. Harusnya kita banyak- banyak bersyukur ya.. sahabat! Karena tidak seorangpun yang secara fisik dan mental sehat dibolehkan menjadi beban keluarganya atau negara yang disebut kerja dalam Islam haruslah baik dan bermanfaat dan tidak ada satupun bentuk pekerjaan yang kemudian tidak akan berakibat kepada kehidupan seseorang di akhirat nanti. Apakah dia mendapat kemuliaan di surga atau kehinaan di neraka kuncinya ada pada pekerjaan yang dilakukannya di dunia.

Baca Juga:  Biografi Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Ulama Feminis Fenomenal NU

Seperti yang sudah dicurahkan dalam surat Al zalzalah ayat 1- 8, yang berbunyi:

“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya yang dahsyat, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi jadi begini?”, Pada hari itu bumi menceritakan beritanya karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan yang demikian itu kepadanya, pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam supaya diperlihatkan kepada mereka balasan pekerjaan mereka. barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seperti zarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula. na’udzu billah.”

Oleh karena itu Islam melarang perbedaan status dan kelas sosial Maka tidak ada satupun jenis pekerjaan yang dibenarkan oleh syariat dapat dianggap rendah ataupun hina. Hakikat Perbedaan disini hanya dibenarkan berdasarkan bakat dasar seseorang, keterampilan dan kemampuannya, teknologi ataupun kecenderungan minat seseorang.

Bekerjalah yang bermanfaat dan sebaik mungkin sesuai dengan kemampuanmu. Ukuran produktivitas seseorang ditentukan oleh kemampuan dan bakatnya demikian pula, reward atau balasan bagi seorang pekerja haruslah diatur berdasarkan konsep keadilan dalam Islam. Semakin produktif seseorang maka seharusnya semakin besar reward atau balasan jasanya sementara orang yang mengaku dirinya berkemampuan sangat tinggi dan berkelas internasional namun tidak produktif tidaklah seharusnya mengharapkan bayaran yang tinggi. Karena gini sahabat, jumlah penghasilan yang didapat tidaklah penting. Karena yang paling penting adalah dari mana penghasilan itu didapat dan untuk apa digunakan mencari rizki dengan sering halal dan mengelolanya dengan cara yang halal.

Di mana penghasilan itu di dapat menentukan suatu kualitas halal haramnya penghasilan yang setiap orang terima. Sementara itu kegunaan penghasilan itu digunakan merupakan perwujudan apakah penghasilan itu bermanfaat atau tidak. Syarat penghasilan halal bisa disebut berasal dari sumber yang halal dan didapatkan dengan cara yang halal pula. Sedangkan penghasilan yang haram bisa disebut berasal dari sumber yang haram dan didapat dengan cara yang haram. Bila sumber dan cara mendapatkan penghasilan masih belum ada kejelasan kehalalannya maka hal itu merupakan penghasilan syubhat atau tidak jelas.

Baca Juga:  Nama-Nama Tari Daerah dan Tradisional di 34 Provinsi

Dan tentunya apabila di kemudian dalam daftar penghasilan tersebut masih ada yang tergolong syubhat atau pun haram, maka sahabat Muslim harus segera menyingkirkannya. Pastikan bahwa semua yang tertulis dalam daftar penghasilan merupakan rezeki yang halal kalau masih memiliki penghasilan haram dampaknya jangan kaget bila anak suka membangkang dan doa kita tak dikabulkan oleh Allah SWT.  Halal memang merupakan suatu prinsip hidup yang seharusnya di pegang oleh semua umat muslim muslimah dan tidak dapat ditawar lagi. Dalam menjalani kehidupan yang halal baik itu dari sisi finansial pekerjaan, perilaku bisnis makanan dan konsumsi obat hingga dalam kehidupan bernegara sekalipun tetap harus menerapkan prinsip halal tersebut.

Seseorang yang telah bekerja bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah kemuliaan dan martabatnya. Begitu pun sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias pengangguran, selain dari kehilangan martabat dan harga diri di hadapan diri sendiri juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan menjerumuskan manusia pada perbuatan hina.

Islam sangatlah menghargai orang-orang yang bekerja dengan tangannya sendiri. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya oleh sahabat, “Pekerjaan apakah yang paling baik, wahai Rasul?” Lalu beliau menjawab, “Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua berjualbelian yang dianggap baik.” (HR. Ahmad bin Baihaqi)

Tindakan mengemis merupakan suatu kehinaan baik di sisi manusia maupun di sisi Allah. Orang yang meminta-minta kepada sesama manusia tidak saja hina di dunia tapi juga akan dihinakan Allah kelak di akhirat.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan janji yang sangat indah kepada siapapun orang yang bekerja keras beliau bersabda, “Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni Allah.” (HR. Ahmad dan Ibnu Asakir).

Maka hakikat kemuliaan suatu pekerjaan itu bukan terletak pada status yang yang dibuat- buat manusia, tetapi ada pada niat ikhlas serta ketaatan seseorang bekerja dengan semua cara yang sudah dituntutkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *