Untuk Bapak
Oleh : Frida Pramadipta
Sebelum aku menyadari bahwa segala tindakanmu tidak akan pernah bisa kubalas, aku telah kehilanganmu. Orang yang segalanya bagiku. Tapi Pak, hatiku sakit. Sangat sakit. Karena hanya engkau yang bisa memahamiku. Kenapa aku percaya betul bila engkau akan selamanya menemaniku?
Apakah masa kecilku bersamamu semuanya penuh dusta? Apakah engkau berpura-pura tampil arif dan sakti mandraguna? Pasti tidak. Engkau laki-laki yang paling jujur padaku. Terkadang engkau lupa bahwa hubungan kita seperti kawan, bukan anak dan bapak.
Suatu waktu, ketika kau menembus kepekatan malam, aku melihat punggungmu yang tipis membelah malam. Seperti ingin kejam pada diri sendiri, engkau tak memperdulikan suaraku yang memintamu tinggal. Malam itu, kau berhasil, dengan gaya yang dikuat-kuatkan, berpaku tak beranjak dari duduk. Entah bagaimana, tiba-tiba saja aku merasa engkau akan pergi jauh untuk waktu yang lama.
“Kenapa harus pergi?”
“Karena memang harus, Nduk” kau berucap tanpa menoleh kepadaku. Sedikitpun tidak.
“Kalau rindu bagaimana, Pak?”
“Rindu sangunya atau rindu Bapak?”
Ada beberapa tetes air mata yang jatuh entah darimana. Engkau memang sering berguarau. Tapi ketika itu, aku tidak tertawa. Apa yang kulihat darimu adalah engkau sedang menjadi bapakku.
Terakhir…, ada sebuah pertanyaan yang tersekat di tenggorokan. Pertanyaan itu mengalir dan berhenti tepat ditengah kalimat. Tetapi engkau lebih memilih untuk berpura-pura tak mendengar pertanyaan itu. Kau tidak memelukku agar tidak terlihat cengeng. Mencoba menjadi “jantan”, mendesak masuk air mata yang hampir tumpah ruah itu. Malam yang gelap itu, begitu berkuasa, merebutmu dariku.
*****
Kebiasaan bapak setiap malam semasa kecilku adalah selalu menceritakan dongeng yang ia karang sendiri padaku. “Pak, manakah yang lebih baik antara berbuat baik tetapi tidak salat, atau salat tapi tidak mau berbuat baik?” atau pertanyaan yang lebih berbahaya adalah, “Setelah bercerita, apa yang bapak lakukan sehingga aku harus tidur terlebih dahulu?”
Dulu. Aku bisa tertawa lepas dan bebas ketika bapak mengangguk menyetujui tingkahku dan akan menatap tajam tepat ke kedua mata ibuk jika aku dicela, “Kenapa? apa yang salah dari tingkahnya?”, aku tumbuh menjadi gadis kecil yang cerdas, lucu dan tanggap terhadap sekeliling. Bahkan, terhadap apa yang diluar jangkuan anak-anak seusiaku. Kecerdasan yang ditandai dengan menghujani puluhan pertanyaan yang sering membuat bapak sampai tergagap. Dari pertanyaan sederhana hingga pertanyaan muskil, semua akan dimuntahkan setiap hari.
Kekukuhan dan kekerasan karakterku terus bertumbuh hingga remaja membuat bapak semakin memberikan kepercayaan untuk memutuskan segala sesuatu berdasar pemikiranku sendiri tanpa ada pengaruh dari orang tua. Kebebasan seperti ini yang tidak disetujui oleh ibuk.
“Untuk Dila, rasanya tidak perlu mengikuti bimbingan belajar sampai jutaan begitu. Keadaan kita sedang sulit, Pak.” Demikian ibuk menegur bapak yang menuruti kemauanku pergi jauh-jauh ke kota hanya untuk mencari bimbingan belajar yang kuinginkan.
“Anak ingusan ini selalu punya tekad kuat untuk keinginannya. Biarkan saja dia.” jawab bapak sambil mengacak-acak rambutku.
****
Malam itu, aku masih ingat betul. Ada campuran perasaan yang sukar untuk dibahasakan. Menjadi saksi dari kisah pelik yang mencuat ke permukaan setelah bertahun-tahun lamanya. Orangtua sering mengira anak-anaknya telah tertidur pulas, padahal telinga kami terbuka lebar mendengar perbincangan yang begitu rahasia.
Sejak punggungmu menghilang pada malam itu, aku tak pernah meminta siapapun untuk menggantikan tempatmu. Bahkan aku juga tak bisa meminta ibuk untuk menggantikan peranmu yang menjadi satu-satunya orang yang mampu memahamiku.
“Sejak kapan sesungguhnya perkawinan kalian benar-benar mati?” Kubiarkan pertanyaan ini mengendap tanpa pernah engkau jawab.
“Bapak akan selalu datang menjengukmu, Nduk.” Aku bisa segera merasakan kepahitan dalam suaranya.
“Aku pikir Bapak akan selalu jujur.” Aku mulai menuntut. Sedangkan engkau menatapku termangu.
“Dan Bapak akan selalu jujur,”
“Kebisuan Bapak sangat berbohong.”
“Karena waktu yang akan lebih bijaksana menjelaskan situasi ini padamu.”
Mungkin engkau tak percaya, tapi malam itu aku sedang merasakan rasa sakit yang sangat luar biasa dibalik dada. Hatiku sakit melihat keadaan yang seperti ini. Aku mengalami kesulitan untuk membuka pikiranku. Aku menjelma menjadi anak yang picik dan manja. Dan aku tahu, itu bukan karakterku.
“Siapa kekasih bapak?”
“Hanya engkau, Nduk…”
“Jangan menghindar, Pak!”
“Jawaban mana yang tepat pada saat seperti ini?”
“Lalu.. Ibuk…”
“Bapak…bapak yang cacat.”
Aku tak lagi memandang wajahnya. Aku sekeras mungkin memaksa pikiranku untuk memahami makna kata “kepemilikan”. Menurutmu, hubungan antara orangtua dan anak, suami-istri, bukanlah hubungan kepemilikan yang mutlak. Ada banyak hal yang tidak dapat diganggu dan dipaksakan oleh oleh manusia lain. Air mata menetes deras tanpa suara yang keluar dari mulutku. Tiba-tiba saja aku tidak ingin menanyakan apapun lagi kepadamu. Aku sudah merasakan benih rasa pahit diantara kalian. Berhenti mempersoalkan siapa yang benar dan siapa yang salah diantara kalian. Hanya kalian berdua yang tau.
Bapak, terkadang aku merasa cemas dan takut. Bagaimana aku bisa bertahan? Waktu yang engkau maksud, sampai sekarang belum menyembuhkan apapun. Ada banyak hari sulit dan penuh kesedihan yang kualami tanpamu, beruntunglah masih ada hal-hal menyenangkan masih menghampiriku. Kini, aku menjalani kehidupan sibuk, melakukan apa yang aku inginkan untuk mencari kebahagiaan. Dan itu semakin sering terjadi sejak aku mengerti pilihanmu.
Tentang Penulis
Penulis adalah mahasiswi Fakultas Syariah UIN Malang. Tulisan pernah dimuat di fianosa, dawuh guru, tokoh wanita, PP. Imam ad-Damanhuri Kota Malang, PP Anwarul Huda Kota Malang. “Penulis adalah pelayan kemanusiaan. Ia mempercayai bahwa kata mampu menjelaskan kebenaran. Hanya sekadar menguji kebenaran, bukan memberhalakannya secara tunggal.”