Substansi Hijab Dalam Konteks Nusantara

Oleh : Cindy Tamelina Wulandari

Ada banyak hal yang perlu kita pahami sebagai seorang muslimah. Bahkan untuk hal-hal yang mendasar sekalipun. Disini saya akan mengambil contoh tentang menutup aurat seorang wanita atau biasa kita sebut (berhijab). Sebelum itu mari kita luruskan makna berhijab di masyarakat. Kebanyakan orang mengartikan hijab adalah penutup kepala yang digunakan oleh wanita muslim, padahal yang digunakan dikepala disebut dengan khimar/kerudung. Sedangkan, yang dimaksud hijab sendiri adalah pakaian luar yang digunakan untuk menutup aurat.

Sebagai seorang muslimah, sudah seharusnya kita senantiasa menatati perintah-perintah Allah, salah satunya adalah berhijab. Bahkan hijab saat ini telah menjadi fenomena modern karena lebih mengarah kepada fashion. Sekarang ini, banyak sekali beredar hijab-hijab syar’i. Adapun yang dikatakan hijab syar’i adalah an laa yakuuna kaasyifan, wa laa waashifan, wa laa mulfitan lin nadzari, yakni yang tidak memperlihatkan auratnya, tidak menggambarkan lekuk tubuh dan tidak menarik perhatian. Meskipun banyak model fashion hijab syar’i yang bagus, kita harus tetap meluruskan niat, yakni berhijab karena Allah.

Allah SWT berfirman : “Katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya dan janganlah menampakkan perhiasan (aurat), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaknya mereka menutup kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasaanya (aurat), kecuali kepada suami mereka”. (QS. An-Nur : 31)

Adat sebagian masyarakat “Wanita memakai pakaian atau celana yang ketat”.

Bagaimanakah hukumnya dalam pandangan fiqih ?

“Adapun syarat penutup aurat di dalam sholat atau diluar sholat, yaitu penutup berupa pakaian atau sesamanya yang dapat menutupi warna kulit, maka dianggap cukup setiap sesuatu yang dapat menutupi warna kulit meskipun tergambar postur tubuh seperti memakai celana yang ketat, akan tetapi makruh dipakai bagi wanita dan tidak baik bagi laki-laki. Hukum makruh ini jika tidak sampai menimbulkan fitnah”. (Mauhibah Al Fadli : 326-327)

Dalam khazanah Islam Nusantara, salah satu ulama besar yang menulis tafsir, yakni Buya Hamka. Dijelaskan oleh beliau adalah “Perempuan menutup aurat sesuai dengan budaya masing-masing”. Dalam hal ini, cara berpakaian misalnya di negeri Barat dan Timur tidaklah sama. Dalam Tafsir al-Azhar, Alqur’an bukanlah buku yang menjelaskan detail busana yang harus dikenakan perempuan. Menurut Buya Hamka, yang dikehendaki dalam firman ini adalah pakaian yang menujukkan rasa iman kepada Allah SWT sekaligus pakaian yang menunjukkan kesopanan.

Baca Juga:  Perjuangan Cut Nyak Meutia - Biografi Lengkap

Pakaian yang dimaksud adalah pakaian yang tidak memamerkan badan untuk menjadi tontonan para kaum laki-laki. Dalam hal ini, meskipun menutup aurat, tetapi memiliki jahitan ketat, misalnya, maka ia belum memenuhi syarat.

Aurat dibedakan menjadi dua bagian. Yang pertama adalah aurat dalam shalat dan yang kedua adalah aurat di luar shalat. Aurat dalam shalat adalah seluruh badan, kecuali muka dan telapak tangan. Adapun aurat di luar shalat dipraktikkan dalam pemakaian yang sopan, layak, dan tidak menarik perhatian laki-laki. (Buya Hamka, 1001 Soal Kehidupan, 2016)

Diceritakan suatu ketika saat Buya Hamka sedang ceramah, datang seorang wanita yang memakai kutek dan memakai pakaian yang tipis. Beliau tetap melanjutkan ceramahnya, dan tidak mencemooh wanita tersebut. Setelah selesai dalam dakwahnya, wanita tersebut pun mendatangi Buya Hamka, kemudian berkata “Buya, saya sudah ikut mengaji, tapi saya masih belum bisa memakai pakaian yang baik, berpenampilan yang sesuai syariat, dll.”

Jawab Buya Hamka “Anakku, nanti saat imanmu menebal, kutekmu akan menipis.”

Subhanallah, indah sekali kata-kata beliau, tanpa sedikitpun menyakiti hati wanita tersebut. Beliau pun melanjutkan, “Selama seseorang masih menutup aurat, ia adalah saudara kita. Kalau ia tidak menutup aurat, sampaikan dengan kata-kata baik yang lembut.”

Dalam kisah tersebut tentu banyak hikmah yang dapat kita ambil, salah satunya adalah janganlah kita memaksa seseorang sesuai dengan kita, karena sejatinya hidayah adalah milik Allah. Kita tidak perlu saling mengklaim merasa diri pakaiannya paling syar’i sendiri. Yang pasti, keharusan kita sebagai muslim atau muslimah adalah membenahi diri sebaik-baiknya, meningkatkan kualitas iman. Bukan sibuk mengurusi orang, apalagi merasa diri paling benar dan baik.

Baca Juga:  Sejarah Singkat Tentang Perayaan Idul Adha

Tapi, bukan berarti menghilangkan kewajiban kita untuk menyampaikan kemaslahatan. Tetaplah sampaikan kebaikan dengan baik, cegahlah kemungkaran selagi engkau bisa. Luruskan segala niat untuk tetap mencari ridha Allah. Maka jadilah muslimah yang tidak hanya cantik dalam pakaian saja, tapi jadilah cantik seutuhnya. Menjadi muslimah yang lurus agamanya, cantik akhlaqnya, dan cerdas otaknya. Jangan berfikiran sempit dengan menjadikan pakaian sebagai tolak ukur ketaqwaan seseorang.

“Jaga citra secarik kain di kepalamu itu dengan hati, pikiran dan perbuatanmu. Jangan sampai kamu yang jelek, jilbabmu yang difitnah.”

Demikianlah artikel yang mengkaji tentang Substansi Hijab Dalam Konteks Nusantara. Semoga bermanfaat.

 


Ayo ikut menulis Konten-Konten yang Sejuk dan Moderat di website www.tokohwanita.com

tokohwanita.com adalah sebuah website unik yang menitikberatkan pada konten-konten biografi tokoh wanita di seluruh wilayah Nusantara. Selain itu, tokohwanita.com juga menerima kiriman tulisan berupa artikel, opini, esai, cerpen, Berita dan info seputar pesantren.


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *