Berguru Pada Media Sosial, Bolehkah?

Oleh : Abidah Daniyah

Dalam Islam, mengaji dan mengkaji ilmu bagi pemeluknya memang suatu hal yang dihukumi wajib ain. Artinya setiap individu diharuskan belajar dan mengetahui tentang apa saja yang ada dalam agama yang dianut. Dalam ruang lingkup pesantren hal itu tak perlu dijadikan problem, sebab bukan santri namanya jika tak mengaji dan berusaha bisa untuk mengabdi.

Lalu bagaimana bagi mereka yang bertujuan ingin mendalami ilmu agama tapi bermukim di kawasan yang jauh dari pesantren dan majelis taklim, atau mereka yang dekat namun berhalangan hadir? Hal itu tak jadi masalah, mengingat pengguna medsos (media sosial) di Indonesia sudah mencapai 150 juta orang atau 56 persen dari jumlah total populasi penduduk, sehingga mengaji dan mengkaji ilmu pun bukan lagu suatu kendala.

Jadi, berbagai informasi dan pengetahuan dengan mudah dapat diakses di Medsos. Namun ibarat pisau, fungsi pisau akan berupa hal yang positif ketika berada di tangan tukang masak, dan berupa hal negatif jika berada di tangan preman.

Medsos pun demikian. Dari sinilah timbul beberapa pendapat yang dilahirkan oleh tokoh-tokoh agama terkait kurang lebihnya mengaji online. Dengan medsos kita seakan berada di tengah-tengah taman ilmu. Kita bisa mempelajari ilmu sebanyak yang kita mau.

Kita bisa mempelajari ilmu apa saja yang kita anggap mudah sebanyak yang kita mau. Kita bisa membaca buku yang sudah terarsip di perpustakaan-perpustakaan dunia yang sudah tersedia di beberapa aplikasi online. Bahkan jika saat ini jika kita ingin mengaji tokoh A atau tokoh B kita hanya perlu buka situs-situs yang sudah disediakan.

Namun sesuatu yang instan sering kali tidak menyehatkan. Karena itulah meski dunia kita telah melahirkan segala macam sarana pengetahuan dengan mudah, lengkap, instan, cepat dan valid tetap saja medsos memiliki sisi-sisi penyakit tersendiri.

Baca Juga:  Gambar Tarian Daerah, Tradisional, Jawa, Kalimantan dan Nama 34 Provinsi Asalnya

Medsos memang sudah menjadi sarana dakwah yang cukup efektif, namun sisi lain dari kemudahan tersebut adalah menghasilkan jiwa-jiwa yang manja, hal tersebut menyebabkan rapuhnya ketangguhan dan semangat manusia dalam hal mempelajari dan menelaah ilmu secara klarifikasi dan detail.

Memang benar, adanya medsos membuat siapa pun menjadi lebih mudah belajar ilmu, termasuk agama. Tetapi bagi mereka yang tak memiliki banyak persiapan mental, medsos dapat menimbulkan berbagai bahaya. Bahkan yang memperparah keadaan adalah banyaknya orang yang menjadikan medsos (internet) sebagai seorang guru tempat bertanya dan mencari tahu.

Dan celakanya lagi dari guru (medsos) inilah mereka lalu menyebarkan apa yang didapatnya kepada murid – muridnya. Memang, tidak semua yang ada di internet adalah tidak benar. Banyak sekali kebenaran yang bertaburan di sana, akan tetapi kebenaran tersebut belum teruji dan masih perlu verifikasi lebih lanjut.

Sehingga saat ini sulit sekali membedakan antara yang alim dan yang jahil, antara faqih dan bukan faqih, antara mufassir dan yang mengaku-ngaku ahli tafsir. Karena bagaimanapun medsos bukanlah guru yang memiliki sanad jelas.

Keadaan pada zaman sekarang ini ada beberapa tokoh atau para ulama berfatwa tidak lagi memperhatikan pendapat Imam Mazhab yang empat atau tidak memperhatikan para ulama soleh terdahulu yang sanad ilmu atau sanad gurunya tersambung dengan Rasulullah.

Rasulullah shallahu alaihi wasallam peringatkan sebagai salah satu tanda akhir zaman. Nabi Muhammad SAW. Yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas r.a berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Allah, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).

Untuk memperjelas tentang pentingnya sanad, ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Habib Munzir Al Musawa menyampaikan “orang yang berguru tidak kepada guru tapi pada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tidak paham bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tidak paham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya (dengan akal pikirannya sendiri).”

Maka oleh sebab itu, boleh membaca buku apa saja, namun kita juga harus memiliki satu guru yang bisa kita tanyai jika kita mendapatkan masalah. Disusul juga dengan Imam Ibnul Mubarak yang berkata :

Baca Juga:  Sejarah Singkat Tentang Perayaan Idul Adha

“Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkan (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqodimah kitab sahihnya 1/47 no : 32).

Lalu timbullah pula beberapa magolah ulama seperti Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa “tiada ilmu tanpa sanad”. Begitu pula pernyataan Imam Malik r.a yang berkata :

“Janganlah engkau membawa ilmu ( yang kau pelajari ) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu).”

Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy lebih ketat dalam menetapkan sanad, sebagaimana dicantumkan dalam kitab Tafsir Ruhul Bayan Juz 5 hal. 203 :

“Barang siapa yang tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya setan.”

Dari sanad ini timbul pula dampak dan pengaruh yang berbeda. Ilmu yang diperoleh dengan jalur sanad, manfaatnya akan kian terasa dan keberkahannya akan selalu menghampirinya. Keilmuan yang dimilikinya pun akan jelas dan bisa dipertanggung jawab kan.

Namun perkara-perkara di atas bukan lantas melarang kita untuk menggunakan media sosial. Bahkan perkara-perkara tersebut menuntut kita untuk turut berperan aktif di dunia maya. Setidaknya untuk mengimbangi narasi-narasi radikal, ujaran kebencian dan hal negatif lainnya yang deras mengalir di berbagai platform digital tersebut.

Bagaimanapun kita juga harus memosisikan medsos dengan baik dan benar serta memanfaatkannya sebagai sarana untuk menyebarkan kebaikan dan kebenaran sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

“Sebaik-baiknya manusia diantaramu adalah yang paling banyak memanfaatnya bagi orang lain.”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikianlah kita seharusnya memosisikan internet sebagai media yang harus dikonfirmasi di dalamnya. Tidaklah layak langsung ditelan, tetapi harus dimasak lebih dahulu. Sayang sekali, sekarang ini terlalu banyak orang yang memiliki ego tinggi dalam dirinya sehingga malu bertanya dan enggan mengakui orang lain sebagai gurunya yang lebih tahu, lalu lebih memilih medsos sebagai jalan pintas.

Baca Juga:  Substansi Hijab Dalam Konteks Nusantara

Dan semoga adanya medsos tidak lantas pula membuat kita terbuai oleh kemudahan atau terpaku pada kecanggihan sarananya. Karena tak boleh kita lupakan bahwa “media sosial yang sesungguhnya adalah bertemu dan berbincang langsung”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *