Benarkah Wanita Tidak Boleh Bekerja?

Benarkah Wanita Tidak Boleh Bekerja? – Peluang bekerja dan sanggup berperan secara keuangan dalam keluarga juga bisa terjadi pada seorang wanita. Namun yang kita lihat di sekeliling kita, pekerjaan wanita hanya masalah rumah tangga. Keadaan ini membuat kita kerap bertanya-tanya bagaimana hukum wanita bekerja dalam agama?

Dalam beberapa kebudayaan di jaman dulu, lelaki memang bertanggung jawab untuk cari nafkah karena umumnya golongan lelaki lebih gampang memperoleh tugas. Disamping itu, secara fisik lelaki memang lebih memungkinkannya untuk bekerja di luar rumah dibanding wanita.

Rekam Jejak Siti Khadijah

Tidak berarti wanita tidak mempunyai peluang untuk bekerja dan meniti karier. Riwayat merekam jika bekerja untuk wanita memang suatu hal yang mainstream. Tetapi bukan bukan berarti itu adalah sebuah hal yang tabu. Kita mengenali Siti Khadijah istri Rasulullah, seorang saudagar kaya raya yang bahkan juga karena sangat kesuksesannya sampai mengirimi ekspedisi perdagangnya sampai ke negeri seberang. Ini jadi sedikit panduan mengenai hukum wanita bekerja. Selain itu, Siti Khadijah, dalam hadis berikut dikisahkan seorang wanita yang bekerja dan cari nafkah:

عن ريطة بنت عبد هللا بن مسعود رضي هللا عنهما أتت إلى النبي صلى هللا وسلم. فقالت: يا رسول هللا إني امرأة ذات صنعة أبيع منها وليس لي وال لزوجي وال لولي شيئ. وسألته عن النفقة عليهم فقال: لك في ذلك أجر ما أنفقت عليهم. أخرجه ابن سعد.

“Dari Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud ra. ia pernah mendatangi Nabi Saw dan bertutur, “Wahai Rasulullah, saya perempuan pekerja, saya menjual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini semua, karena saya, suami saya, maupun anak saya, tidak memiliki harta apapun.” Ia juga bertanya mengenai nafkah yang saya berikan kepada mereka (suami dan anak). “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka,” kata Nabi Saw. (Thabaqat Ibn Sa’d).”

Selainnya diriwayatkan oleh Imam Ibnu Sa’d, hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, Imam Ahmad, dan Imam Ibnu Hibban.

Berdasar hadis di atas, Dr. Faquhuddin Abdul Kodir menulis dalam bukunya yang berjudul 60 Hadis; Hak-hak Wanita dalam Islam menjelaskanketika kesempatan kerja terbuka bagi keduanya sebagaimana yang terjadi sekarang, Maka tanggungjawab mencari nafkah menjadi tanggungjawab bersama. Bagi siapa pun yang memiliki kapasitas dan kemampuan.

Mencari Nafkah bagi Keluarga

Benarkah Wanita Tidak Boleh Bekerja? – Bekerja dan cari nafkah ialah kewajiban lelaki dan wanita. Karena itu mengurusi permasalahan lokal rumah tangga seperti mengolah, membersihkan pakaian, menjahit baju, jaga anak-anak jadi kewajiban bersama. Seperti Nabi sudah memberikan contoh di kehidupan rumah tangganya, di mana beliau tidak enggan layani diri kita dan menolong tugas rumah tangga yang lain.

Islam ialah syariat yang di turunkan oleh Allah sang Pencipta Manusia, hanya Dia-lah yang maha mengetahui sangkut-paut ciptaan-Nya. Hanya Ia yang maha tahu yang mana baik dan membenahi hamba-Nya, dan yang mana mencelakakan mereka. Maka dari itu, Islam menjadi ketentuan hidup manusia yang terbaik, paling komplet dan paling mulia, Hanya Islam yang dapat mengantar manusia ke arah kebaikan, perkembangan, dan kebahagiaan dunia akhirat.

Baca Juga:  Bacaan Sujud Sholat: Berbagai Redaksi Bacaan Sujud Shahih

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rosul apabila dia menyerumu kepada sesuatu (ajaran) yang memberi kehidupan kepadamu“. (QS. Al-Anfal: 24).

Allah ialah Dzat yang maha penyayang, maha pengasih dan terus mengurus makhluk-Nya, maka dari itu Ia tidak akan biarkan makhluknya.

Allah berfirman:

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa ada perintah, larangan dan pertanggung-jawaban)?!” (QS. Al-Qiyamah:36, lihat tafsir Ibnu Katsir 8/283).

Oleh karena itu, Allah turunkan syariat-Nya, dan mewajibkan manusia untuk mengaplikasikannya di kehidupan, tidak lain supaya kehidupan mereka jadi lebih baik, semakin maju, lebih mulia, serta lebih berbahagia di dunia dan di akhirat.

Tanggung Jawab Seorang Suami

Islam menjadikan lelaki sebagai kepala keluarga, di bahunyalah tanggung-jawab khusus lahir batin keluarga. Islam juga seimbang dalam membagikan pekerjaan rumah tangga, kepala keluarga diberi pekerjaan khusus untuk menuntaskan semua masalah di luar rumah, sedang si ibu mempunyai pekerjaan khusus yang mulia, yaitu mengurus semua masalah di rumah.

Etika-etika ini terdapat di dalam firman-Nya:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).

Begitupun firman-Nya:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Sebaiknya kalian (beberapa istri) masih tetap di dalam rumah kalian” (QS. Al-Ahzab:33).

Pakar Tafsir terkenal Imam Ibnu Katsir menerjemahkan ayat ini dengan perkataannya: “Maksudnya, hendaklah kalian (para istri) menetapi rumah kalian, dan janganlah keluar kecuali ada kebutuhan. Termasuk diantara kebutuhan yang syar’i adalah keluar rumah untuk shalat di masjid dengan memenuhi syarat-syaratnya” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/409).

Jadi, apa boleh wanita bekerja?

Benarkah Wanita Tidak Boleh Bekerja? – Bekerja memang kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tetapi Islam pun tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita bisa bekerja, bila memenuhi persyaratan-syaratnya dan tidak memiliki kandungan beberapa hal yang dilarang oleh syari’at.

Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan bisnis, karena Allah jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja dalam firman-Nya:

Baca Juga:  Biografi Nyai Hj. Nafisah Ali Maksum, Pecinta Al-Qur’an yang Masuk ke Dalam Jajaran A'wan PBNU

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Allah, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105)

Perintah ini meliputi wanita dan pria. Allah mensyariatkan usaha ke semua hambanya, Karena itu semua manusia diperintah untuk menjalankan bisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria atau wanita, Alloh berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29)

Perintah ini berlaku umum, baik pria atau wanita. Akan tetapi, harus menjadi perhatian dalam penerapan tugas dan usahanya, sebaiknya realisasinya bebas dari beberapa hal yang mengakibatkan permasalahan dan kemungkaran. Dalam tugas wanita, tidak ada ikhtilat (campur) dengan pria dan tidak memunculkan fitnah. Begitupun dalam usahanya semestinya pada kondisi tidak memunculkan fitnah, selalu berusaha menggunakan jilbab tertutup, dan menjauhi beberapa sumber fitnah.

Karena itu, jual-beli di antara laki-laki dan wanita atau tempat kerja harus terpisah, begitupun dalam tugas mereka. Misalnya wanita bisa bekerja sebagai dokter, perawat, dan pendidik khusus untuk wanita, sedangkan pria bisa bekerja sebagai dokter dan pendidik khusus untuk pria.

Bolehnya bekerja, harus dengan persyaratan tidak mencelakakan agama dan kehormatan, bagus untuk wanita atau pria. Tugas wanita harus bebas dari beberapa hal yang mencelakakan agama dan kehormatannya, dan tidak mengakibatkan fitnah dan kerusakan kepribadian pada pria. Begitupun tugas pria harus tidak mengakibatkan fitnah dan kerusakan untuk kaum wanita.

Sebaiknya golongan wanita dan pria itu masing-masing bekerja secara baik, tidak sama-sama mencelakakan di antara satu sama yang lain, dan tidak mencelakakan penduduknya.

Terkecuali pada kondisi genting, bila kondisinya menekan seorang pria bisa mengurus wanita, misalkan pria bisa menyembuhkan wanita karena tidak ada wanita yang dapat menyembuhkannya, begitupun kebalikannya. Tentu saja dengan masih tetap berusaha menjauhi dari beberapa sumber fitnah, seperti menyendiri, buka aurat, dan lain-lain yang dapat memunculkan fitnah. Ini sebagai pengecualian (cuma bisa dilaksanakan bila kondisinya genting). (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz, jilid 28, hal: 103-109)

Syarat Wanita yang Harus Diperhatikan Dalam Bekerja

  1. Kerjanya tidak mengusik kewajiban intinya dalam soal di rumah, karena mengurusi rumah ialah tugas wajibnya, sedang tugas luarnya bukan kewajiban untuknya.
  2. Harus dengan ijin suaminya, karena istri harus mematuhi suaminya.
  3. Mengaplikasikan adab-adab islami, misalnya: menjaga penglihatan, menggunakan jilbab syar’i, tidak menggunakan aroma, tidak menghaluskan suaranya ke pria yang bukan mahrom, dan lain-lain.
  4. Kerjanya sesuai tabi’at wanita, misalnya: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, dan lain-lain.
  5. Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya. Sebaiknya dia cari lingkungan kerja yang khusus wanita, misalkan: Sekolah wanita, perkumpulan wanita, pelatihan wanita, dan lain-lain.
  6. Sebaiknya cari dahulu tugas yang dapat ditangani di rumah. Bila tidak ada, baru mencari tugas luar rumah yang khusus di kelompok wanita. Bila tidak ada, karena itu dia jangan mencari tugas luar rumah yang campur di antara wanita dan pria, terkecuali bila kondisinya genting atau kondisi benar-benar menekan sekali, misalkan suami tidak sanggup memenuhi kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dan lain-lain.
Baca Juga:  Sejarah RA Kartini: Biografi, Perjuangan, dan Kisah-Kisah

Wanita Bekerja Tergantung Dengan Tugas dan Kondisi

Maksud dari “tergantung dengan tugas dan kondisi” bisa anda pahami dengan pertannyaan di bawah ini.

  1. Apabila suami mengizinkan anda untuk bekerja?
  2. Apa tugas anda tidak mengusik pekerjaan khusus anda di rumah?
  3. Apa tidak ada tugas yang dapat ditangani di rumah?
  4. Bila lingkungan kerja anda saat ini kondisinya ikhtilat (campur di antara pria dan wanita), apa tidak ada tugas yang lain lingkungannya yang tidak ikhtilat? Bila tidak ada, apa anda telah pada keadaan genting, hingga jika anda tidak bekerja, anda akan terancam hidupnya atau sekurang-kurangnya hidup anda akan berasa berat sekali jika anda tidak bekerja? Bila memang begitu, apakah sudah anda mengaplikasikan adab-adab islami saat anda keluar dari rumah? InsyaAllah dengan rincian di atas, anda dapat menjawab sendiri pertanyaan anda. (Silahkan jawab di kolom komentar).

Memang, sering kita perlu waktu dan tahap demi tahap dalam mengaplikasikan syariat di kehidupan kita, tetapi peganglah terus firman-Nya:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertaqwalah ke Allah semampumu!” (QS. At-Taghabun:16)

Dan dalam firman-Nya (yang artinya):

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ

“Jika tekadmu sudah bulat, maka tawakkal-lah kepada Alloh!” (QS. Al Imran:159)

Sabda Rasul Shallallahu Alaihi wasallam, “Ingatlah kepada Allah ketika dalam kemudahan, niscaya Allah akan mengingatmu ketika dalam kesusahan!” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani), juga sabdanya:

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاءَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا أَعْطَاكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُ (رواه أحمد وقال الألباني: سنده صحيح على شرط مسلم)

“Sungguh kamu tidak meninggalkan sesuatu karena takwamu kepada Alloh azza wajall, melainkan Alloh pasti akan memberimu ganti yang lebih baik darinya” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani).

Demikian artikel tentang Benarkah Wanita Tidak Boleh Bekerja?. Semoga bermanfaat. Apabila ada yang ingin dibenarkan dari tulisan ini, silakan berbagi ilmu di kolom komentar. Terimakasih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *